Kamis, 16 Februari 2012

Sejarah Perkorupsian dan Faktor Penyebab Budaya Korupsi di Negara Indonesia


Kilas Balik Perkorupsian Indonesia

Perilaku dan sifat korup manusia Indonesia telah dikenal sejak jaman dahulu sampai sekarang dan akan terus berlanjut entah sampai kapan.  Periodisasi korupsi di Indonesia secara umum dapat dibagi dua, yaitu periode pra dan pasca kemerdekaan.
            Periode Pra-kemerdekaan. Dari beberapa catatan sejarah, kehancuran kerajaan-kerajaan besar di Indonesia disebabkan perilaku korup sebagian besar tokoh elite (pentholan) bangsa pada saat itu. Sebut saja Sriwijaya yang hancur karena tidak ada penerus setelah mangkatnya raja Bala Putra Dewa dan Majapahit hancur karena perang saudara (paregreg)  setelah mangkatnya Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan kerajaan Mataram di Jawa Tengah, "loyo" dan semakin melemah karena ditekan dengan politik pecah belah serta adanya perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang membelah dua wilayah Mataram menjadi kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Fokus penelitian sejarah kebanyakan bercerita pada aspek politik, bukan ekonomi seperti usaha memperkaya diri sendiri dan kerabat kaum bangsawan sehingga merugikan keuangan negara.
 Masa penjajahan Belanda yang berlangsung 350 tahun juga ikut andil dalam membentuk budaya korupsi. Buku History of Java karya Rafles (1816) menyebutkan karakter orang jawa sangat "nrimo" atau pasrah pada keadaan, namun memiliki keinginan untuk dihargai orang lain, tidak terus terang, menyembunyikan persoalan dan oportunis. Bangsawan Jawa gemar menumpuk harta, memelihara abdi dalem untuk kepuasan karena diharapkan memberi sanjungan. Budaya Jawa yang demikian akhirnya menimbulkan budaya korup. Bahkan pegawai VOC yang bergaji relatif kecil pada saat itu juga menyebabkan suburnya budaya korupsi. Pada tahun 1799 asosiasi dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie)   dipelsetkan menjadi Verhaan Onder Corruptie, runtuh lantaran korupsi.
            Periode Pasca- kemerdekaan. Pada masa kepemimpinan Soekarno, korupsi tetap merajalela meskipun negara RI baru terbentuk dan belum stabil. Pada masa tersebut ada dua badan dibentuk untuk pemberantasan korupsi; PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara) dan Operasi Budhi. Paran mengalami kebuntuan, karena semua pejabat tinggi berlindung di ketiak presiden. Kemudian tahun 1963 dikeluarkan Kepres no. 275  tahun 1963 dikenal dengan nama Operasi Budhi (OB). Dalam waktu 3 bulan OB berhasil menyelamatkan uang negara sebesar  Rp. 11 miliar, untuk ukuran waktu itu begitu fantastis. Operasi ini pun akhirnya gagal, karena dianggap nyerempet-nyerempet presiden. Misalnya untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina minta ijin kepada presiden untuk ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan alasan belum ada ijin atasan.  
            Pada masa Orde Baru, dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) sebagai tindak lanjut pidato Pj Presiden Soeharto di depan DPR/MPR 16 Agustus 1967. karena selalu gagal, bagaikan macan ompong maka dibentuk Opstib (Operasi tertib) yang dikomandani oleh Soedomo. Namun seperti biasanya, Opstib juga hilang ditelan bumi tanpa bekas sama sekali.
            Pada masa reformasi, berbagai lembaga telah dibentuk untuk memberantas korupsi. Korupsi yang pada jaman orde baru hanya melingkar di pusat kalangan elit kekuasaan, dengan adanya desentralisasi maka semua lini pemerintahan terjangkit virus korupsi. Skala korupsi menjalar ke setiap sendi-sendi kehidupan bangsa. Usaha pemberantasan korupsi dilakukan mulai dari jaman presiden B.J. Habibie, Gudur, Megawati dan SBY. Berbagai peraturan dan badan atau lembaga dibentuk, diantaranya : Komisi Penyelidik Kekakayaan penyelenggara Negara (KPKPN), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Ombudsmen, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Dari semua lembaga tersebut, hasilnya tetap ajeg, tidak berubah. Intinya keseriusan pemerintah masih patut dipertanyakan. Tampak secara terang dan jelas, pemerintah selalu bermain-main dengan cara melindungi para konglomerat dan orang-orang kuat yang oleh Deny Indrayana disebut epicentrum korupsi, yaitu : istana, cendana, senjata, dan pengusaha naga.


            Faktor penyebab Budaya Korupsi


Banyak indikasi yang menyebutkan bahwa faktor daya dorong (driving force) terhadap mem-batu-nya budaya korupsi selalu berhubungan dengan usaha pemuasan fasilitas kehidupan yang hedonistik, yaitu  usaha pemenuhan kepuasan nafsu terhadap harta, tahta dan wanita, disebut "tiga-ta". Terbentuknya perilaku korupsi (corruption behavior) dapat dijelaskan dengan teori psikoanalisis dari Sigmun Freud. Apabila keinginan dasar manusia yang begitu liar (wild) terhadap "tiga-ta" sebagai bentuk daya dorong terlalu kuat disebut "id" dan tidak terkendali oleh "ego", maka dalam diri manusia muncul "super ego" berupa perilaku korupsi yang tidak terkendali. Budaya korupsi adalah hasil akumulatif "super ego" dalam  pemenuhan hedonistik yang tidak wajar, berlebihan serta tidak terkendali.
Statement yang sering terdengar adalah korupsi telah mendarah daging, mengakar dan membudaya di republik tercinta ini. Repotnya adalah jika ada urusan yang berkaitan dengan birokrasi, saat ini orang menjadi lazim untuk memberi "sesuatu".. Padahal instansi tersebut benar=benar tidak meminta  "sesuatu". Karena perilaku korupsi sudah menjadi "budaya", orang atau instansi yang mencoba untuk "bersih" justru dianggap aneh. . Salah kaprah ini juga dapat menjadi daya dorong terjadinya korupsi. Pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah "Apakah benar korupsi telah membudaya di negeri ini?". Meminjam istilah Edgard H. Schein, bahwa "budaya" didefinisikan sebagai : "    “A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problem of external adaptation and internal integration, that have worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and  feel in relations to this problems”. Pada intinya, budaya adalah asumsi dasar yang diketahui secara bersama-sama dan dianggap benar secara internal maupun eksternal sehingga perlu diteruskan kepada anggota masyarakat baru atau generasi berikutnya.
            Melihat batasan budaya tersebut, perilaku korupsi di Indonesia dapat dikatakan sebagai telah "membudaya". Secara umum banyak perilaku korupsi yang sudah diasumsikan secara bersama-sama "benar" dan "lazim". Jika tidak mengikuti arus perilaku korupsi, bahkan kita dianggap "naif" dan tidak wajar atau aneh. Lebih sadis lagi kita dapat dianggap ketinggalan jaman dan tidak modern.Gila bener!   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar